Monday, July 18, 2016

Lulusan Universitas Terbuka Menjawab Tantangan Globalisasi

Siapa bilang lulusan Universitas Terbuka gak berkualitas? Baca ni makalah biar gak salah... :D




LULUSAN  UNIVERSITAS TERBUKA
MENJAWAB TANTANGAN GLOBALISASI
Oleh:
Ngabdul Khalim / NIM 021604355
UPBJJ-UT Semarang



Abstrak
Opini publik yang menyatakan bahwa lulusan UT tidak kompeten dalam menjawab tantangan globalisasi adalah tidak benar. UT sebagai perguruan tinggi negeri dengan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh telah mempersiapkan lulusaanya untuk dapat mandiri dan memiliki kompetensi tinggi dalam menjawab tantangan globalisasi. Sebab UT telah menyelenggarakan sistem pembelajaran berbasis online yang dapat diakses oleh setiap mahasiswa di seluruh penjuru tanah air bahkan di luar negeri. Pembelajaran berbasis online ini di era globalisasi justru membuat informasi dapat diakses secara cepat dan akurat. Media pembelajar berbasis oline telah mampu memberikan pelayanan yang lebih baik dari pada sistem tatap muka yang mengharuskan bertemunya dosen dan mahasiswa yang berbatas waktu dan tempat. Pembelajaran berbasis online yang disediakan oleh UT telah mencakup banyak hal, misalnya ruang baca virtual, dry-lap, guru pintar, lembar mandiri, portal suaka, dan web suplemen yang lainnya yang didesain untuk semua mata kuliah yang ditawarkan oleh UT. Dan bagi mahasiswa yang membutuhkan masih diberikan tutorial tatap muka baik untuk mata kuliah berpraktik maupun nonpraktik. UT juga telah membiasakan mahasiswa untuk belajar secara mandiri. Belajar secara mandiri dapat berdampak pada terbentuknya kepridian yang kuat dan tidak pernah mau bergantung pada orang lain. Manusia yang demikianlah manusia yang dibutuhkan pada era globalisasi. UT juga merupakan perguruan tinggi yang telah mendapatkan pengakuan dunia atas manajemen pengelolaan pendidikan baik yang diberikan oleh ISO maupu oleh BNPT yang telah melakukan penilainnya secara berkala. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa lulusan UT dapat menjawab tantangan globalisasi.
Kata Kunci: lulusan UT, menjawab tantangan,  dan globalisai



  1. Pendahuluan
Latar Belakang
Sebagian masyarakat masih memandang rendah pada kualitas lulusan Universitas Terbuka (UT). Mereka menilai bahwa UT, dengan sistem pendidikan belajar jarak jauhnya, tidak akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing di era global. Alasan yang mereka ungkapkan adalah bahwa sistem ini sangat berbeda dengan sistem yang diterapkan oleh universitas konvensional; yaitu bahwa pembelajaran dilakukan secara face-to-face, sementara di UT dilakukan secara online.
Selain itu, sistem “terbuka” yang mengizinkan siapa saja menjadi mahasiswa UT semakin menjadikan sebagian kalangan meragukan kualitas UT. Sebab semua pendaftar dari segala kelompok usia dan lulusan, baik dari SMA, SMK, MA, Kejar Paket C, dan bahkan pondok pesantren sekalipun, diterima tanpa ada seleksi apapun. Sehingga timbul persepsi negatif di masyarakat bahwa input UT inkompeten secara akademis, dan muncul pula atribut negatif yang disematkan kepada UT seperti “Kampus Penyetaraan” dan “Perguruan Tinggi Orang Tua”. Dan dalam ranah dunia kerja, persepsi dan atribut negatif ini berimbas pada penurunan penghargaan terhadap lulusan UT oleh para penyedia lapangan kerja serta penurunan kepercayaan diri oleh para lulusan UT itu sendiri (Pakpahan:2003). Lebih dari itu, dampak lainnya dapat memicu hal yang lebih buruk seperti kasus diskriminasi yang pernah terjadi di Jombang pada tahun 2009 atas larangan alumni UT mengikuti tes CPNS.
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang muncul adalah “Dapatkah lulusan UT menjawab tantangan AFTA dan MEA pada era globalisasi?” Selanjutnya uraian di dalam makalah ini akan mencoba memaparkan sejumlah informasi tentang globalisasi, AFTA, MEA, dan UT yang meliputi sejarah pendirian, sistem pembelajaran, dan kualitas pengelolaannya sehingga dapat diketahui seberapa besar kompetensi lulusan UT dalam menjawab tantangan globalisasi.
  1. Pembahasan
1)      Globalisasi
Globalisasi pertama kali dikenal dalam kajian ilmiah pada tahun 1980, diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Roland Robertson dari University of Pittsburgh (Amin:2011). Kemudian pada tahun berikutnya, istilah “globalisasi” dimunculkan kembali oleh ekonom Theodore Levitt dalam artikelnya yang berjudul “Globalization of Markets”, yang terbit di Harvard Business Review edisi Mei–Juni 1983, yang  membuatnya diakui secara luas sebagai pencipta istilah “globalisasi”. Meskipun demikian, kata “globalisasi” sebenarnya telah banyak digunakan oleh sejumlah pengamat jauh sebelum Levitt mempopulerkannya (https://id.wikipedia.org, 28 Mei 2016). Hal ini dapat ditelusuri dengan melihat perkembangan Kamus Merriam Webster, yang telah mencacat kata “globalize” dalam entrinya pada tahun 1944 (http://www.ub.edu, 14 Juni 2016).
Lalu, apa yang dimaksud dengan “globalisasi”? Secara etimologis, “globalisasi” berasal dari kata global, yang artinya sama dengan universal. Sedangkan secara terminologi, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), yang sering mengacu pada sistem sosial dan ekonomi internasional. Adapun definisi globalisasi dari sudut pandang beberapa pakar adalah sebagai berikut.
1.     Menurut Sosiolog Antony Giddens dalam The Consequences of Modernity (1990), globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial dunia yang menghubungkan tempat-tempat jauh sehingga peristiwa di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di tempat lain sekian kilometer jauhnya dan sebaliknya.
2.     Roland Robertson mendefinisikan globalisasi sebagai “pemadatan dunia dan pemerkayaan kesadaran dunia secara keseluruhan”.
3.     Menurut Sosiolog Martin Albrow dan Elizabeth King, globalisasi adalah “semua proses yang menyatukan penduduk dunia menjadi satu masyarakat dunia yang tunggal”.
4.     Dalam buku The Race to the Top: The Real Story of Globalization, Thomas Larsson menyatakan bahwa “globalisasi mengacu pada semakin mudahnya interaksi antara seseorang di satu tempat dengan orang lain di belahan dunia yang lain.”
Dari definisi di atas, globalisasi dapat dipandang sebagai suatu proses menuju “Dunia tanpa batas” (Borderless World). Adapun faktor yang “memicu” dan “memacu”-nya adalah “Triple T” (technology, transportation, and trade). Perkembangan teknologi dewasa ini seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet mendorong terciptanya komunikasi global dan interaksi kultural lewat tayangan televisi, berita, film, musik, seni, literatur, edukasi, dsb. Kemudian pada sisi lain, transportasi mendukung perpindahan barang dan orang dari satu tempat ke tempat lain, sehingga terjadi arus pengiriman barang lintas wilayah (kota dan negara) dan gelombang wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Selanjutnya, trade (perdagangan), yang didukung dua faktor sebelumnya, menciptakan interindependensi (kesalingtergantungan) antarnegara dan menjadikan dunia sebagai “Pasar Budaya Global” (Global cultural bazaar) di mana perusahaan-perusahaan multinasional seperti McDonalds, Coca-cola, Adidas, LG, dan Samsung mendirikan perusahaan cabang di negara lain dan menjual produk mereka di negara tersebut (Amin, 2011:4.3-4.4).
Masuknya budaya dan produk-produk asing ini menunjukkan bahwa globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat. Akan tetapi, Tony Lawson dalam Hertati (2014:9.13) menyatakan bahwa secara umum globalisasi memiliki 3 dimensi utama, yaitu:
1.     Ekonomi, yaitu bekerjanya kapitalisme dalam konteks yang global dan bentuk-bentuknya dalam bidang keuangan, produksi, dan pekerjaan.
2.     Politik, yaitu meningkatnya kondisi politik di tingkat internasional yang membawa pengaruh pada nasional bangsa.
3.     Budaya, yaitu pemanfaatan aspek-aspek budaya lokal, seperti ideologi, fashion, seni, musik, dan lain-lain dengan audiences yang lebih luas melalui teknologi-teknologi baru, seperti internet.
Dalam dimensi ekonomi dan politik, globalisasi telah membawa pengaruh yang signifikan. Sistem ekonomi dunia berangsur-angsur bergeser ke arah liberalisme. Akibatnya, negara-negara dituntut untuk mampu mengakomodasi sistem tersebut dengan mengintegrasikan ekonomi nasionalnya menuju ekonomi liberal. Dan sistem ekonomi ini menghendaki terciptanya perdagangan bebas (free trade), sehingga, dengan kata lain, memaksa negara-negara bersaing satu sama lain agar tetap “survive”. Lalu, pada saat memasuki tahap ini, setiap negara harus menyesuaikan kebijakan politiknya mengikuti mekanisme pasar dengan meminimalisir bentuk-bentuk intervensi negara seperti pemberian subsidi, kuota, lisensi, monopoli, dan tata niaga.
Sebagai respon atas meningkatnya persaingan pasar, semangat regionalisme muncul di antara negara-negara dalam satu kawasan. Mereka menjalin kerja sama ekonomi dengan membentuk blok dagang (trade bloc) demi menguatkan perekonomian bersama. Beberapa blok dagang yang telah terbentuk antara lain Europe Union (EU), North American Free Trade Agreement (NAFTA), Southern Common Market (MERCOSUR), Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA), dan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) (Anabarja, 2010). Dan untuk kawasan Asia Tenggara terbentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA).
2)      Era AFTA dan MEA
Di kawasan Asia Tenggara, jiwa regionalisme bermula dari terbentuknya Association of South East Asian Nations (ASEAN) di Bangkok pada 8 Agustus 1967. Dapat dikatakan, inilah embrio awal dari terintegrasinya perekonomian negara-negara di kawasan itu. Seiring dengan pergeseran sistem perekonomian dunia ke arah liberalisasi pada awal 1990-an, wacana mengenai perdagangan bebas juga turut bergulir di kalangan negara-negara anggota ASEAN. Indikasinya, terjadi kesepakatan pada pertemuan negara-negara anggota ASEAN di Singapura (1992) untuk memberlakuan perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara. Dalam pertemuan tersebut secara formal telah disepakati terbentuknya ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA kemudian menjadi salah satu bentuk kerjasama ekonomi di kawasan ASEAN yang menghendaki terciptanya sebuah kawasan perdagangan bebas yang berisikan program komprehensif untuk mereduksi tarif regional.
Dalam pereduksian tarif ini, AFTA mengikuti skema CEPT (Common Effective Preferential Tariff), yaitu kesepakatan untuk mengurangi tarif masuk kawasan dan menghilangkan hambatan-hambatan bukan pajak dalam periode 10 tahun yang dimulai pada tanggal 1 Januari 1993. Mekanismenya adalah tarif barang yang diperdagangkan antarnegara AFTA akan diturunkan menjadi 0–5  mulai tahun 2003 untuk Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand; 2006 untuk Vietnam; 2008 untuk Laos dan Myanmar; dan 2010 untuk Kamboja (http://www.matrade.gov.my, 14 Juni 2016).
Dalam perkembangannya, AFTA yang hanya memperhatikan penurunan tarif saja ternyata dipandang tidak cukup untuk mencapai integrasi ekonomi ASEAN yang lebih dalam. Oleh karena itu, diperkenalkan Visi ASEAN 2020 pada KTT Informal ke-2 tahun 1997 yang didalamnya terdapat rencana untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) pada tahun 2020. Masyarakat ASEAN yang dicita-citakan ini bersandar pada tiga pilar, yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC), Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC), dan Masyarakat Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community-ACC) (Anabarja, 2010:55).
Dari sini lah, MEA lahir dan menyita perhatian masyarakat luas. Karena diberlakukannya MEA pada Desember 2015 sebagai pasar tunggal dan basis produksi di ASEAN berimplikasi pada terciptanya arus bebas modal, arus bebas investasi, arus bebas jasa, dan arus tenaga kerja terampil di kawasan tersebut (Suroso:2015).
3)      Universitas Terbuka dan Dunia Kerja
Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi terbesar di ASEAN, yakni sekitar 252 juta jiwa (https://m.tempo.co, 16 Juni 2016). Jumlah ini menyebabkan masalah berupa penggangguran karena kesempatan kerja yang tersedia tidak memadai. Dengan terbentuknya MEA, akan ada 2 dampak (positif dan negatif) yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dampak positifnya adalah MEA menarik investasi asing masuk dan membuka lapangan pekerjaan baru. Sedangkan dampak negatifnya adalah tenaga kerja asing masuk dan malah membuat persaingan kerja semakin ketat. Hal ini tentunya merugikan Indonesia karena banyak angkatan kerja kita yang masih berpendidikan rendah, di mana BPS mencatat ada 76,1 juta pekerja (62,96 persen dari total pekerja) merupakan lulusan SD dan SMP per Februari 2015 (http://www.suara.com, 16 Juni 2016).
Melihat realitas ini, pemerintah kemudian mengambil langkah untuk mempersiapkan tenaga kerja Indonesia menghadapi MEA. Di antaranya dengan menggratiskan biaya pendidikan hingga 12 tahun, menggencarkan pendidikan kejuruan (SMK dan BLK), dan menyediakan beasiswa pendidikan ke perguruan tinggi bagi yang kurang mampu (Johan:2015).
Walaupun pengadaan beasiswa untuk kalangan kurang mampu telah diupayakan, masih banyak sekali dari kalangan ini yang belum terakomodasi. Hal ini masih ditambah lagi dengan masalah lain seperti jarak, waktu, dan usia bagi mereka yang tinggal di daerah 3T  (Tertinggal, Terdepan, Terluar) dan mereka yang sudah berkarir dan bekerja, yang menjadi hambatan bagi mereka untuk mengeyam pendidikan tinggi. Untuk menangani persoalan ini, pemerintah lalu mengambil prakarsa untuk mendirikan perguruan tinggi khusus dengan sistem terbuka dan jarak jauh.
Akhirnya, prakarsa ini diwujudkan dengan didirikannya PTN ke-45 Universitas Terbuka (UT) sebagai Perguruan Tinggi Terbuka Jarak Jauh (PTTJJ) satu-satunya di Indonesia pada tanggal 4 September 1984 (Keppres no. 41 Tahun 1984). Makna “terbuka” di sini berarti untuk siapa saja tanpa ada pembatasan usia, tahun ijazah, masa belajar, waktu registrasi, dan frekuensi mengikuti ujian, dan “jarak jauh” berarti pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka, melainkan menggunakan media, baik media cetak (modul) maupun non-cetak (audio/video, komputer/internet, siaran radio, dan televisi) (http://www.ut.ac.id, 23 Mei 2016).
Kendati pendirian UT sangat kontekstual dengan persoalan bangsa, tetapi UT tetap menuai sentimen negarif dan bahkan diperlakukan secara diskriminatif dalam hal bersaing merebut pasaran kerja. Sentimen tersebut menjadi image negatif terhadap kualitas UT beserta lulusannya karena sistem pembelajaran UT yang non tatap muka. Hal ini bisa dipahami, mengingat kegiatan belajar-mengajar di jenjang sebelumnya dan perguruan tinggi lain menggunakan pendekatan face-to-face. Akan tetapi, image negatif ini mesti segera ditepis, dibuang jauh-jauh dari opini masyarakat. Mengapa demikian? Sebab itu merupakan perguruan tinggi negeri yang berusaha memberikan pendidikan yang berkualitas. UT dengan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauhnya telah menyiapkan bahan ajar yang dirancang untuk dapat dipelajari mahasiswa secara mandiri.
UT telah menyelenggarakan sistem pembelajaran berbasis online yang dapat diakses oleh setiap mahasiswa di seluruh penjuru tanah air bahkan di luar negeri. Pembelajaran berbasis online ini di era globalisasi justru membuat informasi dapat diakses secara cepat dan akurat. Media pembelajar berbasis oline telah mampu memberikan pelayanan yang lebih baik dari pada sistem tatap muka yang mengharuskan bertemunya dosen dan mahasiswa yang berbatas waktu dan tempat. Pembelajaran berbasis online yang disediakan oleh UT telah mencakup banyak hal, misalnya ruang baca virtual, dry-lap, guru pintar, lembar mandiri, portal suaka, dan web suplemen yang lainnya yang didesain untuk semua mata kuliah yang ditawarkan oleh UT. Dan bagi mahasiswa yang membutuhkan masih diberikan tutorial tatap muka baik untuk mata kuliah berpraktik maupun nonpraktik.
Opini yang berkembang di kalangan masyarakat yang menyebutkan bahwa UT merupakan “perguruan tinggi penyetaraan” (http://zonaindryan.blogspot.co.id) adalah tidak benar. Sebab status penyetaraan tersebut sudah dihapus tahun 2004 oleh Menteri Pendidikan (SK. No 123 tahun 2004) (https://m.tempo.co, 17 Juni 2016). Dengan demikian kasus diskriminatif pada penerimaan CPNS di Jombang tahun 2009 seharusnya tidak boleh terjadi. Selain itu image konyol tetang UT sebagai perguruan tinggi untuk orang tua adalah opini yang tidak berdasar (http://edukasi.kompas.com, 17 Juni 2016). Sebab jumlah mahasiswa di kalangan muda untuk non-prodi pendidikan dasar jumlahnya melebihi dari jumlah mahasiswa perguruan tinggi negeri mana pun di Indonesia. Pada tahun 2002, jumlah mahasiswa usia dibawah 30 tahun ada sekitar 46 persen dari total mahasiswa yang teregistrasi di UT (493.333 orang) (http://poskotanews.com, 17 Juni 2016).
4)      Kompetensi Lulusan UT
Sebenarnya apa menyebabkan keraguan terhadap kualitas UT adalah ketidaktahuan masyarakat akan kualitas UT. Sebagai PTN sekaligus PTTJJ berkelas dunia, UT telah mendapatkan akreditasi nasional maupun internasional. Pada tingkat internasional, UT telah mengantongi Sertifikat Kualitas dari ICDE[1] dan ISO 9001 dalam bidang manajemen. Di samping itu, program studi di UT semua telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) (http://www.ut.ac.id, 17 Juni 2016). Bahkan lebih dari itu, rektor UT telah beberapa kali terpilih sebagai presiden ICDE. Ini merupakan sebuah indikasi bahwa UT diakui eksistensi dan kualitasnya di kancah internasional (http://okezone.com, 22 Juni 2016).
Dengan bahan ajar yang digunakan dan jaminan kualitas yang diperoleh, UT sebagai PTTJJ rasanya tak perlu disangsikan lagi. Dan bahkan, dalam menyongsong era MEA, SDM UT sangat berpotensi unggul di pasar kerja (employment market) karena memiliki kemandirian tinggi dan menguasai teknologi informasi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa untuk dapat mengikuti pembelajaran di UT dengan efektif, mahasiswa dituntut mempunyai motivasi belajar yang kuat, inisiatif, kedisiplinan yang tinggi, serta time management yang baik. Sehingga mereka dapat belajar sesuai dengan jadwal yang telah ditentukannya sendiri.
Dalam kaitannya dengan kemandirian, Parker (2005:226) menyatakan bahwa orang yang mandiri (self-reliant) akan percaya diri, berani mengambil resiko, mampu memecahkan masalah, dan tidak takut akan kegagalan. Sementara Masrun (dalam Widayatie, 2009:19) menambahkan, kemandirian ditunjukkan dalam 4 sikap, yaitu: tanggung jawab, otonomi (kemauan), initiatif (berpikir dan bertindak kreatif), dan kontrol diri. Dengan sifat-sifat ini, jelas lah bahwa SDM yang mandiri adalah lulusan yang dibutuhkan hari ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Inggris, Amerika, dan Kanada, semua sifat ini masuk ke dalam 23 atribut soft skills yang dominan di lapangan kerja. Adapun ke 23 atribut tersebut diurutkan berdasarkan prioritas kepentingan di dunia kerja adalah sebagai berikut.
1.      Inisiatif
2.      Etika/integritas
3.      Berpikir kritis
4.      Kemauan belajar
5.      Komitmen
6.      Motivasi
7.      Bersemangat
8.      Dapat diandalkan
9.      Komunikasi lisan
10.  Kreatif
11.  Kemampuan analitis
12.  Dapat mengatasi stres
13.  Manajemen diri
14. Menyelesaikan persoalan
15.  Dapat meringkas
16.  Berkoperasi
17.  Fleksibel
18.  Kerja dalam tim
19.  Mandiri
20.  Mendengarkan
21.  Tangguh
22.  Berargumentasi logis
23.  Manajemen waktu

Tak hanya atribut soft skills di atas, lulusan UT juga mempunyai nilai tambah lain berupa penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, yang sangat menunjang di dunia kerja saat ini. Pasalnya dewasa ini tengah terjadi tren digitalisasi, di mana banyak pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, industri, organisasi, serta institusi, membawa layanan mereka ke dunia digital (http://infobanknews.com, 28 Mei 2016). Oleh sebab itu, mereka yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi akan berpeluang unggul di era globalisasi dan MEA.
Dengan melihat apa yang dihasilkan UT dengan pendidikan terbuka dan jarak jauhnya, kita dapat mengetahui bahwa lulusan UT akan mampu menjawab tantangan global. Buktinya dapat kita lihat dari serangkaian nama-nama besar seperti Kristiani Herrawati (Bu Ani Yudhoyono), Wiranto (Ketum partai Hanura dan mantan Menhankam), Djohar Arifin Husin (Ketua PSSI), Djoko Suyanto (Menko Pokhukam), Agum Gumelar (mantan Menhub), dan Bambang Sumintono (dosen senior di Universiti Malaya)[2] (http://www.tribunnews.com, 18 Juni 2016).
  1. Penutup
            Simpulan
Globalisasi telah membawa angin perubahan pada seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali ekonomi. Pada dimensi ini, globalisasi menggeser sistem ekonomi dunia ke arah liberalisme, yang memaksa negera-negara untuk memasuki pasar bebas. Adanya semangat regionalisme kemudian mendorong negara-negara di satu kawasan untuk membentuk trade bloc untuk meningkatkan perekonomian bersama. Wujudnya di kawasan ASEAN adalah terbentuknya AFTA pada tahun 1993. Sayangnya, AFTA dinilai tidak cukup untuk mencapai integrasi ekonomi ASEAN yang lebih dalam, sehingga dibentuklah MEA untuk merealisasikan tujuan tersebut.  
Disahkannya MEA pada Desember 2015 memberikan implikasi dalam ketenagakerjaan berupa arus bebas tenaga kerja terampil. Hal ini tentunya menuntut penyediaan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing. Oleh karena itu, pemerintah dan perguruan tinggi melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas lulusan. Dan upaya tersebut oleh UT diwujudkan melalui pendidikan terbuka dan jarak jauhnya, yang mampu mencetak lulusan dengan kemandirian tinggi dan penguasaan teknologi informasi, sehingga menjadi lulusan yang siap menghadapi globalisasi dan MEA.



[1] The International Council for Open and Distance Education adalah organisasi internasional yang memayungi berbagai pergururan tinggi terbuka dan jarak jauh dari 160 negara.
[2] Profil Bambang Sumintono dapat dilihat di https://umexpert.um.edu.my/bambang.html






DAFTAR PUSTAKA


Buku
1.     Amin, Zainudin Ittihad. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan, cetakan ke-11. Jakarta: Universitas Terbuka.
2.     Hertati, dkk. 2014. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, cetakan ke-10. Tangerang: Universitas Terbuka.
3.     Universitas Terbuka. 2012. Katalog Universitas Terbuka 2013 FEKON-FISIP-FMIPA-FKIP Non Pendas. Tangerang.
Artikel dan makalah dalam internet
1.     Anabarja, Sarah. 2010. Kendala dan Tantangan Indonesia dalam Mengimplementasikan ASEAN Free  Trade Area Menuju Terbentuknya ASEAN Economic Community (diunduh pada 14 Juni 2016 dari http://journal.unair.ac.id/ download-fullpapers-Kendala%20dan%20Tantangan%20Indonesia%20dalam %20Mengimplementasikan%20ASEAN%20Free%20Trade%20Area%20Menuju %20Terbentuknya%20ASEAN%20Economic%20Community.pdf)
2.     Andriani, Chichi. 2015. Mahasiswa Dan Perguruan Tinggi Dalam Era ASEAN Economic Community 2015 dalam Seminar Nasional Ekonomi Manajemen dan akuntansi (SNEMA) 2015 (diunduh pada 16 Juni 2016 dari http://fe.unp.ac.id/ sites/default/files/unggahan/19.%20Chichi%20Andriani%20(hal%20284-290)_0.pdf).
3.     Fajrin, Nurul Ilmi. 2015. Hubungan antara Kemandirian dengan Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (diunduh pada 17 Juli 2016 dari http://etheses.uinmalang.ac.id/1250/6/11410126_Bab_2.pdf).
4.     G.T. Suroso. 2015. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia (diakses pada 23 Mei 2016 dari http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20545-masyarakat-ekonomi-asean-mea-dan-perekonomian-indonesia).
5.     Johan, Arif Bintoro. 2015. Peran Pendidikan Kejuruan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) (diunduh pada 16 Juni 2016 dari http://journal.ustjogja.ac.id/download/Peran%20Pendidikan%20Kejuruan%20 dalam%20Menghadapi%20Masyarakat%20Ekonomi%20ASEAN3.pdf)   
6.      Pakpahan, Sondang P. 2003. Penilaian terhadap Ijazah Universias Terbuka di Lapangan Pekerjaan (diakses pada 22 Mei 2016 dari http://simpen.lppm.ut.ac.id/ ptjj/PTJJ%20Vol%204.2%20september%202003/42sondang.htm). 
7.      Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. 2015. Penguatan Karakter Mahasiswa dalam Menghadapi MEA (diunduh pada 22 Juli 2016 dari http://journal.ustjogja. ac.id/download/naskah%20seminar.pdf).
8.      Universitat de Barcelona. A Quick Guide to the World History of Globalization (diunduh pada 14 Juni 2016 dari http://www.ub.edu/prometheus21/articulos/ archivos/Guide.PDF)
Internet
1.     http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/17/03593424/kuliah.murah.dan.fleksibel. di.ut (diakses pada 17 Juni 2016)
2.     http://edukasi.kompas.com/read/2015/04/10/12232671/5.Mitos.yang.Salah. Tentang.Kuliah.Sistem.Online.Learning (diakses pada 17 Juni 2016) 
3.     http://infobanknews.com/inovasi-dan-sdm-kunci-sukses-di-era-mea/ (diakses pada 28 Mei 2016) 
4.     http://news.detik.com/berita-jawa-tengah/3052217/lulusan-pesantren-kini-bisa-lanjut-ke-universitas-terbuka-tanpa-kejar-paket-c (diakses pada 23 Mei 2016)
5.     http://news.okezone.com/read/2015/04/21/337/1137550/tian-belawati-kartini-pendidik-yang-mudah-tersentuh (diakses pada 22 Juni 2016) 
6.     http://poskotanews.com/2013/09/04/ut-makin-diminati-mahasiswa-usia-muda (diakses pada 17 Juni 2016) 
7.     http://www.suara.com/bisnis/2015/05/05/192409/bps-pekerja-di-indonesia-masih-didominasi-lulusan-sd-dan-smp (diakses pada 16 Juni 2016) 
8.     http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/09/alumni-universitas-terbuka-dari-ani-yudhoyono-sampai-djoko-suyanto (diakses pada 18 Juni 2016)    
9.     http://zonaindryan.blogspot.co.id/2015/02/sekilas-pandang-soal-universitas.html (diakses pada 17 Juni 2016) 
10.  https://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi (diakses pada 28 Mei 2016)   


Friday, July 8, 2016

EBI, pembaruan dari EYD


 
EBI, pembaruan dari EYD — Selama ini kita mengenal EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) sebagai pedoman penggunaan bahasa Indonesia termutakhir. Pasalnya, kita tidak lagi mendengar pembaruan ejaan selama hampir setengah abad sejak disahkannya EYD tahun 1975. Pemakaian EYD, yang merupakan pembaruan dari ejaan-ejaan sebelumnya (ejaan Van Ophuijsen, 1901 dan ejaan Soewandi, 1947), tentunya mengundang pertanyaan akan kemunculan ejaan baru yang "lebih disempurnakan". Namun, penyempurnaan itu tak kunjung datang sampai akhir tahun kemarin, tepatnya tanggal 26 November 2015, saat Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).  
Dengan dikeluarkannya pedoman tersebut, maka sangat penting sekali bagi kita semua pengguna bahasa Indonesia mengetahui dan menelaah apa saja yang termuat dalam pembaruan ini, sehingga kita tidak serampangan dan lebih mahir berbahasa Indonesia, khususnya dalam ragam formal.  
Dan jika masih banyak yang belum tahu tentang keberadaan EBI sebagai pembaruan EYD ini, berikut saya bagikan file dan link downloadnya.  
Selamat mengunduh dan belajar... :D