Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kata dekadensi mempunyai dua arti,
yakni: pertama, kemerosotan (dalam akhlak) dan kedua, kemunduran (dalam
seni dan sastra). Dari kedua arti tersebut, dekadensi yang dimaksud dalam
pembahasan ini adalah arti pertama, kemerosotan dalam akhlak.
Di
era globalisasi, kontak antarbudaya tak bisa dihindarkan lagi. Kondisi ini
utamanya disebabkan oleh media yang dengan mudahnya dapat diakses oleh siapa
saja, kapan saja, dan dimana saja. Hal ini tentunya mempunyai dampak positif,
namun tak bisa dipungkiri bahwa dampak negatif juga timbul mengingat apa yang
diberikan media yang belum tentu baik dari waktu ke waktu untuk dikonsumsi.
Dekadensi
moral merupakan satu dari sekian banyak imbas negatif yang ditimbulkan oleh
media. Media yang hari ini dipenuhi tontonan dunia barat semakin lama semakin
menggilas budaya lokal. Dampaknya, merosotnya moral menjadi hal pasti, terutama
moral kaum remaja yang mana sedang menghadapi masa labil dan masa pencarian
jati diri. Disadari atau tidak, remaja kita hari ini merupakan cerminan dari
membludaknya tayangan tak mendidik di TV yang dipertontonkan setiap hari.
Acara-acara televisi lebih banyak diisi sinetron percintaan dan hiburan
ketimbang acara yang mampu meningkatkan mutu pendidikan dan kreativitas. Selain
tayangan TV, penyalahgunaan internet juga sangat meresahkan dengan maraknya
kasus pemerkosaan, hamil di luar nikah, dan semacamnya akhibat pornografi dan
pornoaksi. Bioskop-bioskop luar yang menampilkan kehidupan dan budaya luar
mendorong pula terjadinya pergaulan bebas, clubbing, serta imitasi cara
berpakaian dan berperilaku yang mungkin berseberangan dengan budaya dan agama
kita. Padahal Rasulullah pernah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk kaum itu.” (H.R. Abu Daud)
Kemerosotan
moral sejatinya merupakan bencana yang sesungguhnya bagi kita. Bagaimana tidak,
kemerosotan moral adalah sumber dari segala maksiat seperti zina, minum minuman
keras, perjudian, dan kriminalitas. Dan kerusakan moral yang berlarut-larut
akan menjauhkan diri dari agama dan rahmat Allah dan pada akhirnya mendatangkan
bencana, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Ankabut 29: 40.
فَكُلا
أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ
مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الأرْضَ وَمِنْهُمْ
مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ
يَظْلِمُونَ
Artinya:
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara
mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka
ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang
Kami benamkan ke dalam bumi, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya
mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
Kebobokan
moral di negeri ini menjadi tanggungjawab kita bersama. Bagaimana mungkin
negeri yang besar ini akan tegak berdiri jika generasinya hancur tergerus
derasnya arus globalisasi. Pemerintah dalam hal ini dapat berperan dalam
mengetatkan kontrol terhadap penyiaran televisi baik negeri maupun swasta. Dan
bagi pemilik stasiun televisi haruslah lebih selektif dalam menyiarkan program.
Serta peran orang tua sangatlah diperlukan dalam mendidik putra-putrinya dengan
memperkenalkan pengetahuan agama sejak dini baik dalam lingkungan keluarga
maupun lewat pendidikan formal ataupun madrasah dan penguatan ruh keimanan
menjadi hal terpenting bagi setiap individu pada akhirnya.