Dalam Islam tidak ada masalah
Sebagai agama yang diyakini untuk kasih sayang semua umat manusia, maka Islam sesungguhnya tidak pernah menekan pihak perempuan dalam bidang pekerjaan. Baik pekerjaan di rumah maupun luar rumah. Jika merujuk kepada hadits Nabi, dalam praktek kehidupan zaman Nabi Saw sesungguhnya ada banyak riwayat menyebutkan tentang sahabat perempuan yang bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk kepentingan sosial, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebutlah misalnya, Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Di dalam kitab hadits (Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483) disebutkan bahwa ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada Nabi Saw, yang dengan tegas mengatakan kepadanya: “Petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan”.
Bahkan di dalam literatur fikih (jurisprudensi Islam) secara umum tidak ditemukan larangan perempuan bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Variasi pandangan ulama hanya muncul pada kasus seorang isteri yang bekerja tanpa restu dari suaminya. Kalau lebih jauh menelusuri lembaran-lembaran literatur fikih, dalam pandangan banyak ulama fikih, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lain (lihat fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205 dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573). Lebih tegas lagi dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya sudah mengetahui dan menerima calon isterinya sebagai pekerja (baca: perempuan karir) yang setelah perkawinan juga akan terus bekerja di luar rumah, suami tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja atas alasan apapun (lihat: al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795). Fikih membenarkan suami dan isteri, keduanya bekerja di luar rumah dengan prasyarat-prasyarat tertentu. Yang berarti fikih tidak memandang bahwa kewajiban seorang lelaki (misalnya suami) untuk mencari nafkah menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah juga untuk mencari nafkah.
Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang sesungguhnya untuk perempuan dan laki-laki. Jadi pendefinisian bahwa pekerjaan di luar rumah adalah tugas laki-laki dan pekerjaan di dalam rumah adalah pekerjaan perempuan adalah hasil penafsiran terhadap teks secara sempit. Bahkan dalam fikih, perempuan sesungguhnya diperbolehkan meminta upah bila menyusui anaknya, kecuali air susu hari pertama yang merupakan kewajiban perempuan memberikan kepada anaknya karena mengandung kolostrum yang baik untuk meningkatkan imunitas bayi baru lahir. Memang tentu saja hal ini tidak secara otomatis mengatakan bahwa Islam mengajarkan hubungan ibu dan bayinya dihitung dengan uang, akan tetapi adalah menunjukkan penghargaan pada jerih payah ibu. Akhirnya, berbagai jalan dapat ditempuh untuk tetap memberikan keadilan bagi perempuan, tak terkecuali yang berkaitan dengan masalah perempuan bekerja.
Sumber bacaan:
- Dedi Haryadi, Indrasari Tjandraningsih, Indraswari, dan Juni Thamrin, Tinjauan Kebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, AKATIGA, April 1994.
- Indraswari dan Juni Thamrin, Potret Kerja Buruh Perempuan; Tinjauan pada Agroindustri Tembakau Ekspor di Jember, AKATIGA, Juni 1994.
- Ratna Saptari, Perempuan Bekerja dan Perubahan Sosial, Kalyanamitra, 1995.
- Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795.
- Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483.
- Fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205.
- Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573.