Early in 19-, when Srinagar was under the spell of a winter so fierce it could crack men’s bones as if they were glass, a young man upon whose cold-pinked skin there lay, like a frost, the unmistakable sheen of wealth was to be seen entering the most wretched and disreputable part of the city, where the houses of wood and corrugated iron seemed perpetually on the verge of losing their balance, and asking in low, grave tones where he might go to engage the services of a dependably professional thief. The young man’s name was Atta, and the rogues in that part of town directed him gleefully into even-darker and less public alleys, until in a yard wet with the blood of a slaughtered chicken he was set upon by two men whose faces he never saw, robbed of the substantial bank-roll which he had insanely brought on his solitary excursion, and beaten within an inch of his life.
Pada awal tahun 19-, ketika kota Srinagar dicengkeram musim dingin hebat yang mampu menggemeretakkan tulang manusia andai terbuat dari kaca, seorang lelaki berkulit merah muda pucat seperti es, yang kelihatan jelas dari orang berada, terlihat memasuki bagian kota yang paling menyedihkan dan memprihatinkan, di mana rumah-rumah dari kayu dan seng senantiasa tampak hampir tak karuan. Kemudian, dengan suara pelan dia bertanya dengan jelas, di mana ia bisa menyewa seorang bajingan profesional yang bisa diandalkan. Nama laki-laki muda itu adalah Atta. Lalu, bandit-bandit di tempat itu mengajaknya dengan gembira menyusuri lorong-lorong sepi nan gelap. Sampai di suatu pekarangan yang basah oleh darah penyembelihan ayam, dia dihajar oleh dua orang yang wajahnya tidak pernah ia lihat, dirampok uangnya yang berjumlah besar yang ia bawa serta dengan nekat dalam perjalanan seorang diri tersebut, dan dipukuli hingga ajal nyaris menghampiri.
No comments:
Post a Comment