Thursday, December 15, 2016

3 tips to avoid losing phone contacts


3 tips to avoid losing phone contacts    
Very often we hear that people around us complain about losing their contacts as their phones are damaged, repaired, lost, or stolen. As a result, they cannot make contact to them until they get them back, either by meeting the people in question immediately, asking their acquaintances for the numbers, or waiting for an opportunity to meet with them. So what if there is no possibility to meet them directly and immediately because of the long distance and the absence of contacts they can call to get them? Obviously, this will disrupt communication, especially when the missing contacts are important to them.  
To avoid such an incident, there are, in fact, a few of things that we can do. So when we lose contacts, we do not need to panic and worry and can obtain the contacts as soon as possible. 
The first thing we can take to prevent loss of contacts is to write our contacts on a phone book on a regular basis. This recording can be done every week, two weeks, once a month, or everytime we receive new contacts to the phone book. Although this may look old-fashioned, writing phone numbers manually seems to be more secure than storing them on electronic devices such as smartphones, notebooks, laptops, and computers which at any time can suffer damage to either the softwares or the hardwares, resulting in a contact deletion.   
The second way to save phone contacts can be achieved with a telephone contact backup with the device itself. In this modern age, there are so many smartphones provided with the ability to back up data. In fact, the in-built feature can back up not only phone contacts, but calendar, photos, videos, documents, messages, and settings as well. Therefore, it helps us a lot to do a backup. After the backup is done, we make the backup copy and move it into an SD card, flash/thumb drive, external hard drive, computer, or other devices in order to be restored when it is needed.   
Another option is to back up our contacts to a cloud storage. Cloud storage is a kind of online storage to back up data in real time. The photos we have taken, for instance, can be backed up or saved automatically and directly to the real-time storage. And the most commonly used cloud storages now are OneDrive, DropBox, Google Drive, Box, and Amazon Cloud Drive. The storage capacity offered by each cloud storage service, as reported from http://cnet.com (February, 2016), varies, ranging from 2GB to 15GB for the free version and from 50GB to 1TB for the paid version. 

OneDrive, made by Microsoft, for example, offers 5GB of free storage. In the paid version, users will be given 50GB for $2 per month. Unlike Microsoft’s OneDrive, Google with its Google Drive provides an even larger storage capacity of 15GB free of charge to every of its users or of 500GB and 1TB at a cost of an extra $2 and $10 per month. Meanwhile, DropBox and Box provide a free 2GB and 10GB as well as a premium 1TB and 100GB for $10 every month, whereas Amazon only offers a paid version of its $60/year Cloud Drive service for unlimited capacity. With the cloud storages above, we can upload our backup files to the servers easily and freely and can access them at will.
 
Therefore, back up our valuable phone contacts soon with one or all of the above steps before we regret losing them forever.   

Monday, November 28, 2016

Srinagar was under the spell of a winter (translation)


Srinagar was under the spell of a winter

Early in 19-, when Srinagar was under the spell of a winter so fierce it could crack men’s bones as if they were glass, a young man upon whose cold-pinked skin there lay, like a frost, the unmistakable sheen of wealth was to be seen entering the most wretched and disreputable part of the city, where the houses of wood and corrugated iron seemed perpetually on the verge of losing their balance, and asking in low, grave tones where he might go to engage the services of a dependably professional thief. The young man’s name was Atta, and the rogues in that part of town directed him gleefully into even-darker and less public alleys, until in a yard wet with the blood of a slaughtered chicken he was set upon by two men whose faces he never saw, robbed of the substantial bank-roll which he had insanely brought on his solitary excursion, and beaten within an inch of his life.

Pada awal tahun 19-, ketika kota Srinagar dicengkeram musim dingin hebat yang mampu menggemeretakkan tulang manusia andai terbuat dari kaca, seorang lelaki berkulit merah muda pucat seperti es, yang kelihatan jelas dari orang berada, terlihat memasuki bagian kota yang paling menyedihkan dan memprihatinkan, di mana rumah-rumah dari kayu dan seng senantiasa tampak hampir tak karuan. Kemudian, dengan suara pelan dia bertanya dengan jelas, di mana ia bisa menyewa seorang bajingan profesional yang bisa diandalkan. Nama laki-laki muda itu adalah Atta. Lalu, bandit-bandit di tempat itu mengajaknya dengan gembira menyusuri lorong-lorong sepi nan gelap. Sampai di suatu pekarangan yang basah oleh darah penyembelihan ayam, dia dihajar oleh dua orang yang wajahnya tidak pernah ia lihat, dirampok uangnya yang berjumlah besar yang ia bawa serta dengan nekat dalam perjalanan seorang diri tersebut, dan dipukuli hingga ajal nyaris menghampiri.



Petikan novel ini ("East, West" karya Salman Rushdie) diterjemahkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Penyuntingan Teks Terjemahan, jurusan Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan, Universitas Terbuka.

Wednesday, November 9, 2016

Cara menjalankan Command Prompt (CMD) di Windows


Cara menjalankan Command Prompt (CMD)  
di Windows

Mungkin sobat pernah bertanya, untuk apa sih command prompt (CMD) di Windows itu? Kok ngetik-ngetik di sana gak pernah bener, gak ada respon yang berarti? Baiklah, sebagai permulaan, coba buka CMD dan ketik "color 02" dan tekan Enter. Lalu, ketik "title ENCRYPTED" dan tekan Enter kembali. Perubahan apa yang sobat lihat? Ya, warna dan judul CMD berubah. Seperti itu lah jika sobat benar memasukkan perintah (baca: command) di CMD dengan benar, maka perintah akan dieksekusi dengan baik oleh mesin ini.  

Cara membuka CMD:
1. Tekan logo Windows + R, ketik CMD, dan tekan Enter
2. Tekan logo Windows, ketik CMD, dan klik CMD
Sebenarnya banyak yang bisa kita lakukan dengan CMD. Misalnya, selain dapat mengganti warna dan judul CMD seperti di atas, kita juga dapat mengetahui sistem Windows yang sedang kita jalankan tanpa membuka Control Panel, yakni dengan mengetikkan "systeminfo". Secara otomatis, CMD akan menampilkan informasi umum tentang PC dan sistem operasi Windows kita. Lebih lanjut, kita juga bisa melacak seluruh folder di komputer kita hanya dengan perintah "tree". Dan CMD akan menampilkan bagan folder dalam bentuk "pohon" seperti pada gambar di bawah ini.
Tak hanya itu, dengan menjalan CMD secara Run as administrator dan memasukkan perintah "sfc /scannow", kita dapat melakukan pengecekan terhadap OS Windows kita, apakah sehat atau tidak, apakah ada file sistem yang error atau tidak, yang menyebabkan komputer kita tidak berjalan dengan baik. Dan, masih banyak lagi yang bisa dilakukan dengan aplikasi bawaan Windows itu, seperti memformat flashdisk, membuat partisi drive, membuat drive bootable, dll.
Mengingat begitu banyak fungsi yang tersemat pada command processor ini, rasanya akan bermanfaat jika saya membagikan perintah-perintah CMD kepada sobat semua. Namun, sebagian dari perintah-perintah di bawah ini tidak langsung dapat dijalankan, melainkan membutuhkan perintah lanjutan yang dapat diketahui dengan mengetikkan kata "help" di depan perintah seperti pada gambar).

Tuesday, October 11, 2016

Mengatasi Microsoft Word yang selalu meminta kode aktivasi


Mengatasi Microsoft Word
yang selalu meminta kode aktivasi

Microsoft Word sobat sering menampilkan dialog box yang meminta sobat untuk memasukkan product key? Itu artinya Microsoft Word sobat telah expired dan sobat perlu melakukan aktivasi kembali segera. Atau jika tidak,  jendela aktivasi akan terus muncul setiap beberapa waktu sekali. Mengganggu sekali, bukan?
Namun tenang saja, pada postingan kali ini, saya akan membagikan tips untuk menghentikan itu semua. Hehehe... :D  
Oke, langsung saja ya, ikuti langkah-langkah di bawah ini.
1. Download aplikasi KMSpico Activator di sini (besar file sekitar 1,35 MB).


2. Ekstrak file dengan WinRAR.


3. Matikan antivirus yang sedang berjalan di PC dengan Task Manager (klik kanan pada Taskbar dan pilih Task Manager). Pada Task Manager, pilih antivirus dan klik End task.




4. Jalankan KMSpico secara Run as administrator (untuk memunculkan pilihan ini, klik kanan).

5. Tunggu hingga proses selesai (butuh beberapa menit).

6. Restart PC dan lihat perubahannya apakah Microsoft Word meminta kode aktivasi kembali atau tidak.

O ya, perlu sobat ketahui bahwa KMSpico ini bekerja tidak hanya pada Microsoft Word, tetapi juga pada Microsoft Office secara keseluruhan (meliputi Microsoft Excel, Microsoft PowerPoint, dll.). Dan bahkan, KMSpico juga mengaktifkan secara permanen Windows kedaluwarsa yang sedang sobat pakai (Windows Vista, 7, 8, 8.1 dan 10). Enak, kan...??? :D   
Jika sobat sudah mencoba tips ini dan sukses, silakan berkomentar agar sobat kita yang lain tahu. Ditunggu komentarnya dan terima kasih.... :D 

Thursday, October 6, 2016

Cara menghilangkan garis merah dan hijau di bawah tulisan di Microsoft Word


Cara menghilangkan garis merah dan hijau di bawah tulisan di Microsoft Word


Terganggu dengan adanya garis merah-hijau di bawah tulisan saat membaca teks di Microsoft Word seperti pada gambar di atas? Kalau ya, ikuti langkah-langkah sederhana berikut untuk menghilangkangnya. :D
1. Pada lembar kerja Microsoft Word, klik file.
2. Kemudian cari option seperti pada gambar ini.

3. Lalu akan muncul dialog box di tengah layar dan pilih proofing.
4. Selanjutnya, klik pada mark grammar errors as you type dan check grammar with spelling untuk menghilangkan tanda centang pada keduanya. 

5. Terakhir, klik OK dan lihat perubahannya!
Gampang, kan? Selamat mencoba dan sukses...!!! :D


Thursday, September 15, 2016

Perempuan Bekerja, Dilema Tak Berujung


PEREMPUAN BEKERJA, DILEMA TAK BERUJUNG
Oleh: Swara Rahima
Kementrian Pemberdayaan Perempuan


Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di tengah masyarakat kita. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang isteri sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian, ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan pun sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang berbagai suku di dunia, yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik itu adalah perempuan bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan memang bukan baru-baru saja tetapi sudah sejak zaman dulu.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, sebenarnya tidak ada perempuan yang benar-benar menganggur. Biasanya para perempuan memiliki pekerjaan untuk juga memenuhi kebutuhan rumah tangganya entah itu mengelola sawah, membuka warung di rumah, mengkreditkan pakaian dan lain-lain. Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa perempuan dengan pekerjaan-pekerja di atas bukan termasuk kategori perempuan bekerja. Hal ini karena perempuan bekerja identik dengan wanita karir atau wanita kantoran (yang bekerja di kantor). Pada hal, di mana pun dan kapanpun perempuan itu bekerja, seharusnya tetap dihargai pekerjaannya. Jadi tidak semata dengan ukuran gaji atau waktu bekerja saja.
Anggapan ini bisa jadi juga terkait dengan arti bekerja yang berbeda antara Indonesia dengan negara-negara di Barat yang tergolong sebagai negara maju. Konsep bekerja menurut masyarakat di negara-negara Barat (negara maju) biasanya sudah terpengaruh dengan ideologi kapitalisme yang menganggap seseorang bekerja jika memenuhi kriteria tertentu misalnya; adanya penghasilan tetap dan jumlah jam kerja yang pasti. Sedangkan kebanyakan perempuan di Indonesia yang disebutkan tadi, pekerjaan mereka belum menghasilkan penghasilan tetap dan tidak terbatas waktu, bahkan baru dapat dilakukan hanya sebatas kapasitas mereka.
Meski bukan fenomena baru, namun masalah perempuan bekerja nampaknya masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang. Bagaimanapun, masyarakat masih memandang keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan isteri di rumah dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Anggapan negatif (stereotype) yang kuat di masyarakat masih menganggap idealnya suami berperan sebagai yang pencari nafkah, dan pemimpin yang penuh kasih; sedangkan istri menjalankan fungsi pengasuhan anak. Hanya, seiring dengan perkembangan zaman, tentu saja peran-peran tersebut tidak semestinya dibakukan, terlebih kondisi ekonomi yang membuat kita tidak bisa menutup mata bahwa kadang-kadang istripun dituntut untuk harus mampu juga berperan sebagai pencari nafkah. Walaupun seringkali jika seorang laki-laki atau suami ditanya maka akan muncul jawaban “Seandainya gaji saya cukup, saya lebih suka isteri saya di rumah merawat anak-anak”.
Terlepas dari pembahasan di atas, perdebatan mungkin muncul lebih karena anggapan akan stereotype dari masyarakat bahwa akan ada akibat yang timbul jika suami-isteri bekerja di luar rumah yaitu “mengganggu” keharmonisan yang telah berlangsung selama ini. Bagaimanapun, tentu saja memang akan ada dampak yang timbul jika suami-isteri bekerja di luar rumah. Namun solusi yang diambil tidak semestinya membebankan istri dengan dua peran sekaligus yaitu peran mengasuh anak (nursery) dan mencari nafkah di luar rumah (provider), yang akan lebih membawa perempuan kepada beban ganda, akan tetapi adanya dukungan sistem yang tidak terus membawa perempuan pada posisi yang dilematis. 
Kerja produktif dan reproduktif
Untuk dapat melihat definisi dan makna kerja dengan lebih jernih lagi maka mungkin perlu dijelaskan juga tentang kerja dengan membaginya menjadi dua bentuk kerja yaitu kerja produksi dan kerja reproduksi. Baik kerja produksi maupun kerja reproduksi, keduanya berperan penting dalam proses kehidupan manusia. Kerja produktif berfungsi memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, papan. Kerja reproduktif adalah kerja “memproduksi manusia”, bukan hanya sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, hamil, melahirkan, menyusui, namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari manusia baik fisik dan mental, kesemuanya berperan penting dalam melahirkan dan memampukan seseorang untuk “berfungsi” sebagaimana mestinya dalam struktur sosial masyarakat. Kerja reproduktif juga kerja yang pada prosesnya menjaga kelangsungan proses produksi, misalnya pekerjaan rumah tangga. Tanpa ada yang melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, atau mencuci maka tidak mungkin akan didapatkan makanan, kenyamanan bagi anggota rumah tangga yang lain. Sehingga dengan makanan dan kenyamanan tersebut proses yang lain tidak terganggu.Tetapi tentu saja pengertian pekerjaan reproduksi seperti ini tidak dianggap sebagai pekerjaan oleh masyarakat dan juga pemerintah padahal secara fisik ini jelas sebagai sebuah kerja.
Dalam sistem kapitalisme yang berlaku dewasa ini, seperti yang sudah panjang lebar diutarakan di atas, terdapat kecenderungan kuat untuk memisahkan kerja produksi dan reproduksi, di mana kedua pekerjaan tersebut dilakukan dan siapa yang melakukan pekerjaan tersebut. Kerja produksi dianggap tanggung jawab laki-laki, biasanya dikerjakan di luar rumah. Kerja reproduksi dianggap tanggung jawab perempuan dan biasanya dikerjakan di dalam rumah.
Seperti yang pernah diungkapkan, nampaknya hampir semua kalangan masyarakat menyetujui bahwa perempuan mendapat kemulian dengan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga hingga ibu rumah tangga mendapat gelar “ratu rumah tangga”. Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa pekerjaan reproduksi tersebut selalu diberi sebutan sebagai “pekerjaan mulia”. Dan mengapa “pekerjaan mulia” tersebut sebagian besar dibebankan hanya kepada perempuan, seolah ia adalah bagian kewajiban dari Tuhan dengan imbalan kebahagiaan di akhirat nanti. Demikian pula sebutan “ratu” yang seharusnya berimplikasi pada peran perempuan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga, pada kenyataannya, bukan perempuan yang lebih berperan dalam pengambilan keputusan penting, melainkan laki-laki.
Norma yang berlaku dewasa ini kerja reproduksi adalah tanggung jawab perempuan. Atas nama tradisi dan kodrat, perempuan dipandang sewajarnya bertanggung jawab dalam arena domestik. Institusi pendidikan, agama, media massa, mendukung pula pandangan ini. Jarang yang mempertanyakan secara terbuka “kodrat” tersebut. Lebih jarang lagi yang memperhitungkan nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga.
Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam kerja produksi tidak mengurangi beban tanggung jawabnya di sektor reproduksi. Dengan kata lain, tidak mengundang laki-laki untuk berkontribusi lebih besar dalam kerja reproduksi. Kerja perempuan terutama di sektor reproduksi tidak pernah diperhitungkan dalam data perekonomian dan statistik. Jika kerja tersebut diperhitungkan, niscaya akan mematahkan mitos “laki-laki adalah pencari nafkah utama”.
Sebenarnya di banyak tempat, terjadi “perendahan” terhadap kerja reproduksi biologis perempuan, meskipun perempuan telah mencurahkan begitu banyak waktu dan energi. Contohnya pernyataan “buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga ke dapur” atau “si X (perempuan) mah paling juga kawin terus ngurus anak”.
Di sektor publik sering kali sistem yang ada “tidak mendukung” perempuan (dan laki-laki) bekerja untuk dapat pula melakukan kerja reproduksi secara optimal sekaligus. Jam kerja panjang, ketiadaan sarana penitipan anak di tempat kerja, dan kesulitan perempuan bekerja untuk menyusui anaknya, adalah beberapa contoh nyata. Meskipun cuti melahirkan telah diberlakukan secara luas, masih ada yang merasa rugi memberi cuti melahirkan kepada karyawan perempuan. Diskriminasi terselubung dilakukan guna menghindari pemberian cuti tersebut antara lain dengan preferensi tidak tertulis mengutamakan merekrut karyawan laki-laki atau karyawan perempuan lajang.
Situasi di sektor publik sering pula tidak ramah keluarga, baik terhadap karyawan perempuan maupun laki-laki. Memberikan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefiesiensi. Berkomitmen tinggi terhadap anak dan keluarga dipandang tidak kompatibel dengan dunia kerja.
Ternyata, kerja reproduksi yang sebagian besar dilakukan perempuan berperan sangat penting guna keberlanjutan suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Perlu perbaikan sistem sosial secara menyeluruh agar jangan sampai suatu bangsa atau lebih parah lagi umat manusia punah, hanya karena berkeluarga dan memiliki anak menjadi semakin tidak menarik. Sangat penting pula demokratisasi institusi keluarga, termasuk di dalamnya peningkatan peran serta laki-laki dalam kerja reproduksi dalam rumah tangga.
Seperti yang juga sudah disinggung di atas, berkaitan dengan masalah perempuan bekerja produksi yaitu dengan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, pun sesungguhnya sudah lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan. Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%. 
Diskriminasi kerja perempuan
Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di sektor manapun selalu nampak dicirikan oleh “skala bawah” dari pekerjaan perempuan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha kecil seperti berdagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha warung, adalah jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni perempuan.
Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi perempuan berpendidikan menengah ke bawah. Untuk kasus kota, sebagai buruh pabrik, sementara untuk kasus pedesaan sebagai buruh tani. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan. Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Sebuah studi tentang buruh perempuan pada industri sepatu di Tangerang, menemukan bahwa biaya tenaga kerja (upah) buruh laki-laki adalah 10-15% dari total biaya produksi. Sementara bila mempekerjakan perempuan, biaya tenaga kerja dapat ditekan hingga 5-8% dari total biaya produksi (Tjandraningsih, 1991:18). Dalam kasus tersebut, persentase buruh perempuan adalah 90% dari total buruh. Kasus lain dengan substansi yang sama ditemukan pula di sektor pertanian pedesaan. Sebuah penelitian tentang buruh perempuan pada agro industri tembakau ekspor di Jember bahwa untuk pekerjaan di kebun tembakau, buruh perempuan mendapat upah Rp 1.650,00 per hari sementara buruh laki-laki mendapat upah Rp 1.850,00 per hari (Indraswari, 1994:52). Persentase buruh perempuan pada kasus tembakau adalah 80%. Paling tidak di kedua kasus tersebut telah terjadi penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor-sektor produktif tertentu dan pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin. Dua hal ini dapat dilihat juga melalui peningkatan atau penurunan rasio perempuan di setiap jabatan.
Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, bekerja di sektor publik kebanyakan atas dasar dorongan kebutuhan ekonomi. Sedangkan bagi perempuan di kelas menengah ke atas, bekerja bagi mereka adalah bagian dari aktualisasi diri. Hal ini selain terkait dengan semakin terbukanya peluang bagi perempuan untuk memasuki sektor-sektor yang pada awalnya diperuntukkan hanya untuk laki-laki. Semakin banyaknya perempuan berpendidikan yang berkeinginan untuk aktif di sektor publik merupakan konsekuensi logis dari pembukaan peluang yang lebih besar bagi anak perempuan untuk bersekolah.
Bagi perempuan kelas menengah ke atas yang bekerja sebagai pegawai swasta maupun sebagai pegawai negeri, diskriminasi upah seringkali lebih tersamar. Meskipun sistem pengupahan (termasuk tunjangan) pegawai negeri tidak lagi membedakan pegawai perempuan dan laki-laki, di sektor swasta diskriminasi masih terjadi. Meskipun besar upah pokok antara pegawai laki-laki dan perempuan sama, namun komponen tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan dibedakan antara pegawai perempuan dan laki-laki. Seorang pegawai perempuan -apakah berstatus menikah atau lajang- tetap dianggap lajang. Seorang pegawai perempuan yang berstatus menikah -karena dia perempuan- tidak mendapatkan tunjangan suami atau anak. Demikian pula tunjangan kesehatan hanya diberikan kepada dirinya sendiri -tidak untuk suami dan anak-. Dengan demikian -dengan memperhitungkan komponen tunjangan- total penghasilan pegawai laki-laki dan perempuan berbeda jumlahnya untuk pekerjaan yang sama.
Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi gender adalah segala aturan, nilai, stereotip, yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin (Ratna Saptari dalam Andria dan Reichman, 1999: 9). Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka pada saat ia masuk ke sektor publik “sah-sah” saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai “sampingan” untuk “membantu” suami.
Persoalannya, generalisasi bahwa “semua perempuan bekerja hanya untuk ‘membantu’ suami” atau “semua perempuan bekerja hanya sebagai kegiatan sampingan” banyak tidak terbukti validitasnya. Bagi perempuan miskin, dalam situasi krisis ekonomi, banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama keluarga atau bersama-sama suami memberikan kontribusi finansial hingga 50% dari total penghasilan keluarga, atau bahkan lebih. Sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam kasus diskiriminasi upah adalah pemilik modal yang dapat menekan biaya produksi melalui pengurangan komponen biaya tenaga kerja.
Selain persoalan upah, dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki, perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarkis yang dominan. Hal ini diindikasikan dengan minimnya jumlah perempuan yang menduduki posisi pengambil keputusan dan posisi strategis lainnya baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Meskipun persentase perempuan lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia, namun perempuan yang menjadi anggota parlemen hanya 7-8% dari total anggota parlemen. Demikian pula dapat dihitung dengan jari, jumlah perempuan yang menduduki jabatan struktural, bupati, walikota, menteri, dll.
Dari gambaran persoalan diatas, dapat dilihat telah terjadi pula pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang ditandai oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan karir. 
Dalam Islam tidak ada masalah
Sebagai agama yang diyakini untuk kasih sayang semua umat manusia, maka Islam sesungguhnya tidak pernah menekan pihak perempuan dalam bidang pekerjaan. Baik pekerjaan di rumah maupun luar rumah. Jika merujuk kepada hadits Nabi, dalam praktek kehidupan zaman Nabi Saw sesungguhnya ada banyak riwayat menyebutkan tentang sahabat perempuan yang bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk kepentingan sosial, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebutlah misalnya, Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Di dalam kitab hadits (Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483) disebutkan bahwa ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada Nabi Saw, yang dengan tegas mengatakan kepadanya: “Petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan”.
Bahkan di dalam literatur fikih (jurisprudensi Islam) secara umum tidak ditemukan larangan perempuan bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Variasi pandangan ulama hanya muncul pada kasus seorang isteri yang bekerja tanpa restu dari suaminya. Kalau lebih jauh menelusuri lembaran-lembaran literatur fikih, dalam pandangan banyak ulama fikih, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lain (lihat fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205 dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573). Lebih tegas lagi dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya sudah mengetahui dan menerima calon isterinya sebagai pekerja (baca: perempuan karir) yang setelah perkawinan juga akan terus bekerja di luar rumah, suami tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja atas alasan apapun (lihat: al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795). Fikih membenarkan suami dan isteri, keduanya bekerja di luar rumah dengan prasyarat-prasyarat tertentu. Yang berarti fikih tidak memandang bahwa kewajiban seorang lelaki (misalnya suami) untuk mencari nafkah menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah juga untuk mencari nafkah.
Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang sesungguhnya untuk perempuan dan laki-laki. Jadi pendefinisian bahwa pekerjaan di luar rumah adalah tugas laki-laki dan pekerjaan di dalam rumah adalah pekerjaan perempuan adalah hasil penafsiran terhadap teks secara sempit. Bahkan dalam fikih, perempuan sesungguhnya diperbolehkan meminta upah bila menyusui anaknya, kecuali air susu hari pertama yang merupakan kewajiban perempuan memberikan kepada anaknya karena mengandung kolostrum yang baik untuk meningkatkan imunitas bayi baru lahir. Memang tentu saja hal ini tidak secara otomatis mengatakan bahwa Islam mengajarkan hubungan ibu dan bayinya dihitung dengan uang, akan tetapi adalah menunjukkan penghargaan pada jerih payah ibu. Akhirnya, berbagai jalan dapat ditempuh untuk tetap memberikan keadilan bagi perempuan, tak terkecuali yang berkaitan dengan masalah perempuan bekerja.


Sumber bacaan:
- Dedi Haryadi, Indrasari Tjandraningsih, Indraswari, dan Juni Thamrin, Tinjauan Kebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia, AKATIGA, April 1994. 
- Indraswari dan Juni Thamrin, Potret Kerja Buruh Perempuan; Tinjauan pada Agroindustri Tembakau Ekspor di Jember, AKATIGA, Juni 1994.
- Ratna Saptari, Perempuan Bekerja dan Perubahan Sosial, Kalyanamitra, 1995. 
- Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795. 
- Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483. 
- Fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205. 
- Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573.


Tulisan ini saya peroleh saat mengikuti mata kuliah "Bahasa Indonesia Merangkum", jurusan Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan, Universitas Terbuka.


Monday, August 15, 2016

Membangun Negeri dengan Mimpi


Membangun Negeri dengan Mimpi

“The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.”
   Eleanor Roosevelt

Semua dimulai dari mimpi. Mimpi berkuliah di luar negeri. Dari sinilah, kemudian terbentang jalan nan panjang yang tiada terkira sebelumnya. 
Masih ingat benar tahun 2014, saat saya dinyatakan tidak diterima di University of Westmister, London. Dengan itu pula, pupuslah harapan saya untuk menerima beasiswa penuh untuk bisa kuliah di Inggris. Padahal untuk mendaftar ke universitas itu saja, saya perlu menunggu 2 tahun lamanya karena terkendala kartu kredit. Alasannya adalah tidak adanya teman yang memilikinya. Dan naasnya, pembayaran melalui kartu kredit ini menjadi satu-satunya cara yang memungkinkan bagi calon internasional student untuk melakukan pembayaran pendaftaran. Namun pada akhirnya, teman yang baru saya kenal belakang tak dinyana memilikinya dan bersedia membantu, sehingga saya bisa mendaftar setelah 2 tahun menunggu.  
Berburu beasiswa penuh ke luar negeri memang bukanlah hal mudah. Butuh perjuangan dan pengorbanan. Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk mendapatkannya, mulai dari rajin mencari informasi beasiswa, berjuang untuk memenuhi persyaratannya,  sampai mempersiapkan bekal mental serta bahasa dan budaya. Dari kegagalan inilah, saya kemudian belajar banyak, dan mulai menyusun strategi baru untuk mendapatkannya di kemudian hari. 
Hal yang menyebabkan kegagalan ini sebenarnya bersumber dari kekurangjelian saya dalam mencari informasi. Ternyata, ada satu hal yang tidak saya penuhi dalam aplikasi saya, yakni foundation program. Foundation program (program pondasi) sendiri adalah program persiapan studi satu tahun yang harus diambil dan dimiliki oleh mahasiswa internasional sebelum memasuki program bachelor (S1) di perguruan tinggi asing. Program ini biasa ditetapkan sebagai syarat pendaftaran di negara-negara di Eropa, Amerika, dan Australia. Foundation program ini baru saya ketahui usai melihat pengumuman pendaftaran dan mengikuti seminar pendidikan luar negeri setelahnya. 
Meskipun demikian, kegagalan ini tidak membuat saya bergubang dalam kesedihan dalam waktu yang lama. Justru sebaliknya, saya merasa lebih bersemangat dan bahkan senang dengan semua proses ini. Sebab dalam proses pencarian beasiswa tersebut, saya bertemu orang-orang hebat lewat kisah mereka dalam berburu beasiswa yang sungguh memantik semangat. Salah satunya adalah Pak Bambang Sumintono, yang kini mengabdikan dirinya sebagai guru besar di Universiti Malaya, universitas tertua di Malaysia. 
Beliau berkisah tentang perjuangannya dalam berburu beasiswa AusAID untuk studi magisternya di Australia dan NZAID untuk studi doktoralnya di Selandia Baru. Dalam blog pribadinya, beliau bercerita bahwa beliau harus berjuang keras untuk bisa mendapatkan IPK bagus agar menjadi “eligible” untuk mengajukan beasiswa di Australia. Ijazah D3 dari IPB yang telah beliau kantongi saat itu tidaklah cukup untuk mendaftar. Karena beasiswa itu mensyaratkan ijazah S1 dengan IPK yang lebih tinggi daripada IPK yang beliau peroleh. Akhirnya, beliau harus melanjutkan ke jenjang sarjana di sela-sela kesibukannya sebagai guru SMA di pedalaman Lombok. 
Butuh waktu 3,5 tahun baginya untuk melancarkan strateginya, yakni lulus mengantongi IPK di atas 3 di jenjang sarjana. Caranya ialah dengan mengulang setiap mata kuliah yang memperoleh nilai jelek. Bahkan beliau rela untuk mengulang beberapa mata kuliah hingga tiga kali. Dan jika nilai-nilai tersebut belum juga tersulap seperti harapan setelah tiga kali mengulang, maka lapang dada menjadi pilihan terakhirnya. 
Di samping berjuang memperbaiki IPK, beliau juga nyambi belajar bahasa Inggris sebagai persiapan menghadapi TOEFL, yang menjadi syarat mutlak untuk bisa diterima di perguruan tinggi asing. Skor yang diminta untuk program master umumnya adalah 550, dan untuk memperolehnya, butuh waktu yang tidak singkat bagi kebanyakan orang. Perlu mengasah kemampuan secara kontinu agar lebih mahir berbahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan. 
Dan sayangnya, untuk mencapai skor tersebut, beliau harus melakukannya seorang diri. Kondisi yang memaksanya, karena di tempat beliau mengabdi tidak ada tempat kursus bahasa Inggris. Namun hal ini tidak menjadi halangan bagi beliau untuk tetap belajar. 
Semua perjuangan dan kerja keras beliau selama studi berbuah hasil dengan ditetapkannya beliau sebagai wisudawan terbaik jurusan (Pendidikan Kimia) dengan IPK 3,45 pada tahun 1997 di Universitas Terbuka (UT). Dan di waktu yang sama, hasil belajar sambilannya bahasa Inggris menampakkan wujud dalam bentuk skor TOEFL institusional 540 dari Universitas Mataram. Dengan berbekal ini semua, beliau kemudian memberanikan diri melangkahkan kaki melamar beasiswa AusAID, yang sudah beliau incar sedari beberapa tahun silam. 
Singkat cerita, beliau berhasil masuk ke dalam shortlist dari 5000 lebih pelamar (yang baru beliau ketahui setelah menelepon pihak AusAID karena surat balasan yang dikirimkan tidak sampai ke alamat beliau di desa dan karena itu, beliau melewatkan wawancara beasiswa yang semestinya di Denpasar) dan selanjutnya menjalani wawancara dan tes kemampuan bahasa Inggris IELTS di Jakarta. Dari tes IELTS yang diadakan, band (baca: skor) yang beliau peroleh lumayan memuaskan, namun masih perlu ditingkatkan, sehingga beliau harus mengikuti pre-departure program yang telah disediakan oleh pihak AusAID selama 3 bulan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. 
Setelah program prakeberangkatan tersebut selesai, selesai pula pengurusan administrasi beasiswa oleh pihak AusAID. Dan hal ini menandai kesiapan para penerima beasiswa untuk memulai kehidupan akademik baru di Australia. Lalu akhirnya, apa yang beliau perjuangkan dan impikan selama itu terbayar pada bulan Juli 1999, dengan diterbangkannya beliau ke Adelaide untuk mengeyam studi master di Flinders University. 
BACA: kisah Pak Bambang di sini.
Kisah Pak Bambang di atas merupakan salah satu kisah inspiratif para pemburu beasiswa. Masih banyak kisah lain yang juga menarik dibaca. Berawal dari kisah-kisah inilah, saya lalu memutuskan untuk “write my own story” dalam berburu beasiswa. 
Saya mulai menuliskan kisahku dengan menyusun strategi untuk kesempatan mendatang. Strategi ini diwujudkan dengan memilih universitas terbaik yang tidak menggangu pekerjaan sebagai pengajar bahasa Inggris full time di tempat kursus. Sebab setelah mencari ke sana kemari, ternyata tidak ada universitas asing yang menawarkan beasiswa penuh untuk foundation program. Yang ada hanyalah beasiswa parsial saja yang jumlahnya paling banter 50 persen dari total biaya studi. Dan sisanya kita harus biayai sendiri, yang apabila di-kurs-kan ke dalam rupiah masih cukup besar jumlahnya. Oleh karena itu, saya putuskan untuk “banting setir” dengan kuliah terlebih dahulu di sini. 
Sebenarnya kenapa saya ingin sekali kuliah di luar negeri bukan karena universitas di sini buruk kualitasnya, melainkan karena keinginan untuk memperluas wawasan dan mencari pengalaman yang sepenuhnya baru di luar sana. Yang pastinya di masa depan ini akan sangat berguna. 
Setelah menimbang beberapa hal, saran, dan masukan dari sekitar, saya memantapkan pilihan ke Universitas Terbuka dari sekian opsi yang ada. Selain dari kisah Pak Bambang Sumintono yang kuliah di UT, seorang rekan penerjemah (tersumpah) yang saya kenal lewat blog juga merekomendasikan UT sebagai perguruan tinggi yang tepat untuk mendalami ilmu penerjemahan (di UT ditawarkan program studi khusus Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan). Oleh sebab itu, saya tidak ragu lagi dengan pilihan ini.  
 
Langkah berikutnya setelah menentukan perguruan tinggi adalah mencetak IP cum laude tiap semester. Meski jarang sekali ada beasiswa yang meminta IPK setinggi itu, mempunyai IPK tinggi akan memberikan banyak keuntungan, misalnya membuat kita lebih pede dalam berburu beasiswa dan memberikan kita keleluasaan dalam memilih universitas, terutama universitas-universitas kelas wahid. 
Dan alhamdulillah... dengan doa dan belajar sungguh-sungguh, didapatlah IP cum laude hingga semester ini (semester 4), sehingga dengan itu pula terbantahlah pemeo “masuk gampang, keluar susah” yang sejak lama menjadi tumor otak di kepala banyak mahasiswa UT. 
Lalu sebagai hadiah atas kerja keras ini, pada awal semester 4, datang undangan dari UPBJJ-UT Semarang (UPBJJ di mana saya bernaung) berupa permintaan untuk memberikan testimoni saat Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMB) 2016.1 yang berlangsung pada tanggal 20 dan 21 Februari. Di mana pada acara tersebut, saya diminta membeberkan tips-tips untuk mendapatkan IP cum laude. Tentu hal ini menjadi pengalaman berharga dan tak terlupakan bagi saya dan sekaligus menjadi ajang perkenalan dengan para pengelola (baca: pegawai) di UPBJJ tersebut. 
BACA: Tips Mendapatkan IP Cum Laude Setiap Semester di Universitas Terbuka (UT) di sini.
Di samping hadiah di atas, hadiah lain juga saya terima. Hadiah ini berbentuk beasiswa PPA selama 2 semester (semester 2 dan 3). Memang sejak awal saya mengincar beasiswa ini untuk meringankan beban (karena saya bekerja untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan membiayai adik sekolah) dan sebagai bekal menuju beasiswa berikutnya. Rasanya malu sekali jika saya mendaftar beasiswa ke luar negeri tanpa pernah menerima beasiswa prestasi di negeri sendiri. 
Sesudah “misi cum laude dan beasiswa” ini sukses, walau belum sepenuhnya (karena harus menempuh 4 semester lagi), saya bersiap untuk mengemban misi selanjutnya, menulis buku sesuai keahlian saya. Kenapa harus menulis buku? Karena dengan menulis buku (yang berhasil diterbitkan oleh penerbit mayor atau nasional) akan membuat perguruan tinggi asing tidak segan dengan kita. Sebab kemampuan kita telah teruji dan diakui di negeri sendiri. 
Begitu ide ini terbersit di kepala, mulailah saya mencari tahu seperti apa konsep buku yang bakal dilirik redaktur. Rupanya, 50 persen perhatian redaktur dicurahkan pada “nilai jual” saat menilai sebuah buku. Sebagus apapun sebuah buku tidak akan ada artinya jika tidak memiliki nilai jual di mata redaktur. Karena bagaimana pun, penerbit memerlukan biaya yang besar untuk menerbitkan buku dan mereka tak mau rugi atas uang yang telah mereka keluarkan. Setelah nilai jual ini, baru perhatian diberikan kepada aspek yang lain seperti tema, penyajian, bahasa, dsb. 
Mengetahui hal ini, saya lalu menulis buku tata bahasa Inggris dengan judul “Pandai Berbahasa Inggris ala Kampung Inggris Pare – Parts of Speech”. Alasan yang mendasari pemilihan judul ini adalah sudah adanya buku yang mengulas materi serupa Parts of Speech. Namun dengan menambahkan Kampung Inggris Pare, orang pasti akan tertarik membelinya sebab kampung ini telah dikenal luas sebagai one stop English, di mana metode dan program yang ditawarkan di sana terbukti ampuh untuk menguasai bahasa Inggris dalam waktu singkat, hanya dalam hitungan bulan.  
 
 
 
Tak hanya dengan judul yang menjual, materinya pun diulas dengan lebih komprehensif dari buku-buku sejenis dan disusun dengan konsep yang digunakan di Kampung Inggris Pare. Sehingga dengan begitu, tak ada alasan bagi penerbit untuk menolak buku yang akan saya ajukan. Dan benar seperti keyakinan saya, buku tersebut lolos seleksi dan kemudian terbit di Gramedia dan toko buku modern lainnya (Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bhuana Ilmu Populer, Gramedia Group pada November 2015).  
BACA: Deskripsi singkat "Pandai Berbahasa Inggris ala Kampung Inggris Pare – Parts of Speech" di sini
Dengan diterbitkannya buku ini, tercapailah misi saya yang lain untuk mengukir senyum di wajah kedua orang tua (prestasi gemilang terakhir diperoleh ketika MTs, dengan naik ke atas podium bersama Ibu karena menjadi Siswa Terbaik saat kelulusan) dan meningkatkan kualitas diri sebagai konsultan tata bahasa (grammar consultant). Selebihnya yaitu misi berkontribusi untuk negeri seperti apa yang John F. Kennedy utarakan untuk kita lakukan – Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country. 
Usai seluruh misi terlaksana, menyusup pertanyaan baru, “Apa yang bisa saya lakukan lagi untuk mimpi saya?” Selalu terngiang di telinga perkataan Pak Julian Balia (dari film Sang Pemimpi), “Bukan seberapa besar mimpi kalian, tapi seberapa besar kalian untuk mimpi itu.” Perkataan ini membisiki saya untuk melakukan hal lain yang dapat menjadikan saya sebagai kandidat kuat dan bahkan tak tergeser untuk menerima full scholarship di kemudian hari. Pasalnya, saya mau tak mau akan bersaing dengan kandidat lain yang berasal dari universitas yang “lebih menjual” daripada universitas saya sekarang. Oleh  sebab itu, saya harus menambahkan added value terhadap diri saya. 
Gagasan atas apa yang harus saya lakukan selanjutnya kemudian datang dari kampus atas penunjukan untuk mengikuti Disporseni UT 2016. Disporseni (Diskusi Ilmiah, Pekan Olah Raga, dan Seni) adalah ajang pengembangan bakat dan minat sekaligus ajang silaturrahmi yang diperuntukkan bagi mahasiswa UT di seluruh Indonesia. Ajang ini biasa digelar tiga tahun sekali, sehingga menjadi kesempatan sekali seumur hidup bagi saya untuk aktualisasi diri (dalam bidang akademi). Dalam acara akbar ini, saya didapuk untuk maju pada cabang Diskusi Ilmiah bersama dengan seorang teman mahasiswa. 
Kesempatan emas ini pun tidak saya sia-siakan, lantaran ini bisa menjadi selling point saya berikutnya. Maka dari itu, saya mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh dengan tetap memegang prinsip “hope for the best and prepare for the worst”. Dan andai kata, kekalahan datang menyapa, setidaknya saya telah mendapat pengalaman baru, teman-teman baru, dan juga sertifikat baru (baca: piagam keikutsertaan). Tidak apa. 
Akan tetapi, entah bagaimana, saya dan teman saya merasa begitu optimis dapat menjuarai perlombaan ini. Setidaknya juara 3. Padahal kita berdua belum tahu seperti apa dan bagaimana kemampuan lawan dari daerah lain. Hanya rasa percaya diri yang kuat (dengan materi yang akan kita bawakan) yang menyusup ke dalam dada kita. 
Dan tanpa disangka, optimisme ini berubah realita. Nama kita disebut sebagai juara pertama saat penutupan acara. Mendadak, studi ke luar negeri serasa tinggal selangkah lagi. Dengan tambahan bekal ini, seolah universitas impian (Oxford, Cambridge, Harvard, dkk.) melambai dari kejauhan. Ah... bahagianya jika ini bukan sekedar lamunan semata. Hahaha... :D 
 
BACA: Juara 1 Diskusi Ilmiah dalam Disporseni UT 2016 di Surakarta di sini
Membebaskan diri dari keramaian acara, segera saya kabari orang tua. Jujur saja, saya ingin sekali mendengar respon mereka tentang kemenangan ini. Dan juga ingin sekali mengukir senyum di wajah mereka lagi untuk ke sekian kalinya, serta berharap mereka bisa bangga. Selebihnya, saya ingin kakak saya yang baru saja menikah, tepat di hari keberangkatan Disporseni ini, mengetahui bahwa saya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ia berikan untuk pergi. Sebagai ganti atas kemurahan hati, saya persembahkan kemenangan ini sebagai kado pernikahan. Dan untuk adik-adik tercinta (saya adalah anak keenam dari sembilan bersaudara), kemenangan ini (berserta prestasi dan pencapaian sebelumnya) saya maksudkan untuk memotivasi mereka dalam belajar dan bercita-cita. 
Lalu, dengan kemenangan ini, saya semakin yakin bahwa Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita seperti yang dikatakan Andrea Hirata. Terlepas dari apa yang akan terjadi kemudian, entah mimpi itu akan tercapai atau tidak. Yang terpenting adalah kesungguhan dalam mencapainya. Dan andai pada akhirnya, saya tidak bisa juga kuliah di universitas-universitas tersebut, saya akan mengikhlaskannya (hold on tightly, let go lightly). Karena saya yakin, Tuhan punya rencana yang lebih baik dengan pilihan-Nya. 
Namun saya sangat berharap, Tuhan akan menunjukkan kemurahan-Nya, sehingga saya dapat diterima di sana, dan sekembalinya dari sana, saya bisa terus berkontribusi untuk negeri, dengan tidak hanya mengajar dan menulis buku, tetapi juga dengan melakukan hal-hal yang lebih besar lagi. :D 



Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Universitas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-32. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.